DNA Pejuang Mengalir Deras Dalam Darah Gustika Jusuf Hatta: “Presiden Penculik, Wakil Anak Haram Konstitusi”, Cucu Bung Hatta Berkabung

Tak hanya Presiden dan Wakil Presiden yang dikritik tajam, pembantu presiden, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai pun tak luput dari sasaran sindiran pedas sang cucu Proklamator.

ToP PIQIR Oleh ToP PIQIR
12 Menit Membaca
Gustika Jusuf saat menjadi undangan dalam Upacara Detik-Detik Proklamasi. (Instagram @GustikaJusuf)

DNA Asli Bung Hatta, Jiwa Pejuang Mengalir Deras Dalam Darah

Tak banyak yang berani bersuara, Gustika Jusuf menggunakan privilagenya secara benar dengan berdiri bersama rakyat.

“Kak Gustika.. you really use your privilege to speak up.. to critism for a good deeds… thankyou kak,” cuit @marcellinamse. Atas keistimewaan yang ia terima, Ia bukan sekadar cucu Bung Hatta, ia adalah pewaris nilai, bukan hanya nama.

Darah pejuang mengalir deras dalam nadinya. Bukan darah bangsawan, tapi darah mereka yang percaya bahwa kemerdekaan harus terus diperjuangkan, bukan hanya dirayakan.

Ia melihat negeri ini dengan mata yang jernih, tapi juga dengan hati yang gelisah. Terungkap dari penutup yang ia utarakan “Dukaku lahir dari rasa cinta yang mendalam pada Republik ini. Bagiku, berkabung bukan berarti putus asa; dan merayakan bukan berarti menutup mata. Berkabung adalah jeda untuk jujur menatap sejarah, memelihara ingatan, dan menagih hak rakyat dan janji-janji konstitusi kepada Republik Indonesia. Merayakan adalah memanjatkan doa dan harapan,” ujarnya.

Nuraninya menolak untuk menjadi penonton dalam panggung ketidakadilan yang terus dipentaskan ulang. Keprihatinannya bukan basa-basi. Ia bukan datang untuk menyelamatkan citra, tetapi untuk menggugah kesadaran.

Ia tahu, menjadi cucu proklamator bukan kehormatan, melainkan tanggung jawab sejarah. Ia tumbuh dalam bayang-bayang moral seorang Bung Hatta, tokoh yang menolak kompromi dengan kesewenang-wenangan, dan yang percaya bahwa kemerdekaan berarti berpihak kepada yang lemah.

Ia tahu, diam adalah bentuk pengkhianatan. DNA pejuang itu kini menjelma menjadi sikap: tegas, jujur, dan berpihak. Ia tidak mengangkat senjata, tetapi memilih untuk bersuara dengan keberanian yang tenang namun tajam.

Karena ia tahu, perjuangan hari ini tidak lagi di medan perang, tapi di ruang-ruang kebijakan, media, dan hati nurani rakyat. Sejarah mencatat para pendiri bangsa sebagai mereka yang melawan penjajahan. Tapi generasi kini harus mencatat: siapa yang berani melawan ketidakadilan saat semua memilih bungkam?

Dikutip atas pikiran dari @GustikaJusuf , ditafsirkan secara kritis oleh PIQIR.

Bagikan Artikel Ini
Tinggalkan Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *