“Militerisasi kian masuk ke ruang sipil,” tulis Gustika Hatta. Tak masuk di logika sebenarnya, orang bersenjata berkiprah di dunia sipil. Padahal penegakan supremasi sipil merupakan keharusan yang perlu dilakukan.
Sebagai intermezo, Supremasi sipil merupakan gagasan bahwa kehidupan publik, politik dan demokrasi harus dikendalikan oleh sipil.
Mengapa demikian? Karena militer merupakan institusi yang memegang kendali penuh atas senjata, alat kekerasan yang dimiliki negara. Itulah mengapa mereka tak boleh berkuasa di atas kehidupan sipil.
Menurut aktivis HAM Robertus Robert yang ditangkap dalam acara kamisan 2019 pernah menegaskan bahwa selamanya, senjata tidak pernah kompatibel dengan demokrasi. Senjata tidak dapat diajak berdiskusi, senjata tidak dapat diajak berdebat. Sementara demokrasi, pemerintahan dan kehidupan bernegara harus berjalan secara rasional.
Upaya pembersihan nama pun tak luput dari perhatian. Sang cucu Bung Hatta membuka mata bangsa “Hak-hak asasi rakyat Indonesia kerap dilucuti oleh penguasa yang tidak memiliki tepa selira, yang mau menulis ulang sejarah untuk memutihkan dosa-dosa penguasa beserta kroni-kroninya,” katanya.
Selain meng-highlight sang pemegang kendali kekuasaan selaku pelaku pelanggar HAM, hal ini juga dikarenakan kebijakan Menteri Kebudayaan (Menkebud) Fadli Zon yang dengan santai tanpa rasa bersalah ingin menulis ulang sejarah.
Bahkan kata menyakitkan keluar dari mulutnya tentang pemerkosaan masal yang dituduh mengada-ada. Bagaimana perasaan keluarga yang menjadi korban saat itu?
Juga, mau dikemanakan wajah bangsa ketika kejadian kejahatan sejarah terhadap bangsa sendiri seolah masa lalu yang usang dan tak perlu dikenang? Apakah ini merupakan bentuk pembenaran atas kasus berdarah nan kaya pelecehan?